RESUME
Ni Kadek Candra Waisnawati
1111031199
6E
PGSD
Senirupawati Bali
Dikutip
dari nebali pada Januari 3, 2009
Oleh
Jajang Suryana
Para ahli perempuan membagi ruang gerak perempuan dalam dua
lokasi. Pembagian tadi mengacu kepada ruang publik yang bebas dinikmati
masyarakat dan ruang domestik yang diberi kehormatan. Para perempuan, kata para
ahli itu, jarang diberi kesempatan tampil di ruang publik, cukup menikmati
ruang “sumpek” di bilangan domestik saja. Para perempuan adalah juru masak di rumah, di
ruang domestik. Para laki-laki adalah pemanfaat hasil kerja para perempuan.
Tetapi, di ruang publik, di pasar senggol, di hotel, di banjar, para
laki-lakilah yang tampil sebagai ahli masak.
Perempuan Bali banyak terlibat dalam kegiatan kesenirupaan. Kegiatan
menggarap perak, terutama mengolah bentuk-bentuk hiasan seperti cincin, gelang,
kalung, dan anting-anting, beberapa di antaranya mulai digarap perempuan. Sebut
saja mereka itu senirupawati, karena mereka adalah penggubah karya-karya seni
rupa. Banyak senirupawan Beratan mulai beralih profesi. Para senirupawati desa
Beratan sangat tanggap, mengambil alih pengelolaan kegiatan warisan turun
temurun itu. Beberapa art shop di Desa Beratan masih bisa hidup karena campur
tangan lembut para senirupawati.
JENDER
DAN JENDER
Di Bali ada sejumlah kegiatan seni rupa yang dianggap milik
kaum perempuan. Keberadaan semodel bisa juga kita temukan di berbagai daerah
seni yang lain. Sebagai contoh, menenun adalah milik perempuan. Orang tua telah
menganjurkan sejak dini kepada anak-anak perempuannya supaya belajar menenun.
Keterlibatan
para perempuan sangat banyak memberi arti kepada hasil kegiatan seni rupa di
Bali. Perempuan yang selalu dianggap memiliki kelebihan dalam ketelatenan,
kehalusan rasa, dan keapikan, kemudian ditempatkan sebagai penggarap bagian
finishing benda-benda seni rupa. Secara jender, senirupawati Bali adalah pelaku
utama dalam kegiatan-kegiatan menenun, membordir, menganyam bilah bambu untuk
membuat sokasi. Hasil penelitian di daerah Buleleng dan Gianyar (Jajang dan
Widnyana, 2001) menunjukkan bahwa kualitas keterlibatan para perempuan Bali
dalam kegiatan bidang kesenirupaan lebih banyak sebatas pelaksana kegiatan
(58%). 32 % sebagai pelaku utama (perancang kegiatan, pelaksana, maupun
pemasar), dan sisanya berturut-turut sebagai pemasar, buruh, dan pemilik modal.
Kebanyakan di antara mereka (sekitar 89%) bergerak di ruang domestik. Hanya 11%
yang bergerak di ruang publik. Dan, baru 1,23 % perempuan pelaku seni rupa yang
menjadi pemilik modal. Seperti disebutkan, awalnya mereka merasa bertanggung
jawab untuk menyelamatkan kegiatan yang pernah digarap oleh para suaminya.
Para
lelaki Bali beranggapan bahwa keberadaan para perempuan di bidang kesenirupaan
adalah sebagai mitra yang sangat menguntungkan ekonomi keluarga. Ciri jender
telaten, sabar, halus, dan tekun yang telah dilekatkan kepada perempuan
ditunjuk sebagai salah satu pilihan mengapa para perempuan Bali, para
senirupawati Bali, masih ditempatkan sebagai pemberi sentuhan terakhir dalam
pengerjaan benda-benda seni rupa. Para lelaki Bali, sebetulnya telah banyak
yang berbagi kesempatan dengan para perempuan. Di samping itu, lingkungan Bali
yang sibuk-wisata adalah lahan subur bagi para perempuan untuk mengembangkan
kegiatan olah seni rupa.
PENDIDIKAN
Seorang
Rita Widagdo yang telaten menggarap seni patung, bahkan materi karyanya adalah
bahan berat, ternyata mampu meraih keberhasilan. Perempuan Bali yang bersekolah
di lembaga pendidikan seni rupa bisa dihitung dengan jari. Padahal, kekayaan
Bali adalah kesenian, terutama seni tari, seni rupa, dan seni musik. Sementara
di sekolah seni rupa, pun lebih banyak cerita tentang seni rupa Barat. Dan,
dalam seni rupa Barat, para perempuan adalah pelaku seni rupa yang sangat tidak
diperhitungkan keberadaannya.