Minggu, 23 Maret 2014

RESUME



RESUME
Ni Kadek Candra Waisnawati
1111031199
6E
PGSD


Senirupawati Bali
Dikutip dari nebali pada Januari 3, 2009
Oleh Jajang Suryana
Para ahli perempuan membagi ruang gerak perempuan dalam dua lokasi. Pembagian tadi mengacu kepada ruang publik yang bebas dinikmati masyarakat dan ruang domestik yang diberi kehormatan. Para perempuan, kata para ahli itu, jarang diberi kesempatan tampil di ruang publik, cukup menikmati ruang “sumpek” di bilangan domestik saja.  Para perempuan adalah juru masak di rumah, di ruang domestik. Para laki-laki adalah pemanfaat hasil kerja para perempuan. Tetapi, di ruang publik, di pasar senggol, di hotel, di banjar, para laki-lakilah yang tampil sebagai ahli masak.
Perempuan Bali banyak terlibat dalam kegiatan kesenirupaan. Kegiatan menggarap perak, terutama mengolah bentuk-bentuk hiasan seperti cincin, gelang, kalung, dan anting-anting, beberapa di antaranya mulai digarap perempuan. Sebut saja mereka itu senirupawati, karena mereka adalah penggubah karya-karya seni rupa. Banyak senirupawan Beratan mulai beralih profesi. Para senirupawati desa Beratan sangat tanggap, mengambil alih pengelolaan kegiatan warisan turun temurun itu. Beberapa art shop di Desa Beratan masih bisa hidup karena campur tangan lembut para senirupawati.

JENDER DAN JENDER
Di Bali ada sejumlah kegiatan seni rupa yang dianggap milik kaum perempuan. Keberadaan semodel bisa juga kita temukan di berbagai daerah seni yang lain. Sebagai contoh, menenun adalah milik perempuan. Orang tua telah menganjurkan sejak dini kepada anak-anak perempuannya supaya belajar menenun.
Keterlibatan para perempuan sangat banyak memberi arti kepada hasil kegiatan seni rupa di Bali. Perempuan yang selalu dianggap memiliki kelebihan dalam ketelatenan, kehalusan rasa, dan keapikan, kemudian ditempatkan sebagai penggarap bagian finishing benda-benda seni rupa. Secara jender, senirupawati Bali adalah pelaku utama dalam kegiatan-kegiatan menenun, membordir, menganyam bilah bambu untuk membuat sokasi. Hasil penelitian di daerah Buleleng dan Gianyar (Jajang dan Widnyana, 2001) menunjukkan bahwa kualitas keterlibatan para perempuan Bali dalam kegiatan bidang kesenirupaan lebih banyak sebatas pelaksana kegiatan (58%). 32 % sebagai pelaku utama (perancang kegiatan, pelaksana, maupun pemasar), dan sisanya berturut-turut sebagai pemasar, buruh, dan pemilik modal. Kebanyakan di antara mereka (sekitar 89%) bergerak di ruang domestik. Hanya 11% yang bergerak di ruang publik. Dan, baru 1,23 % perempuan pelaku seni rupa yang menjadi pemilik modal. Seperti disebutkan, awalnya mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan kegiatan yang pernah digarap oleh para suaminya.
Para lelaki Bali beranggapan bahwa keberadaan para perempuan di bidang kesenirupaan adalah sebagai mitra yang sangat menguntungkan ekonomi keluarga. Ciri jender telaten, sabar, halus, dan tekun yang telah dilekatkan kepada perempuan ditunjuk sebagai salah satu pilihan mengapa para perempuan Bali, para senirupawati Bali, masih ditempatkan sebagai pemberi sentuhan terakhir dalam pengerjaan benda-benda seni rupa. Para lelaki Bali, sebetulnya telah banyak yang berbagi kesempatan dengan para perempuan. Di samping itu, lingkungan Bali yang sibuk-wisata adalah lahan subur bagi para perempuan untuk mengembangkan kegiatan olah seni rupa.
PENDIDIKAN
Seorang Rita Widagdo yang telaten menggarap seni patung, bahkan materi karyanya adalah bahan berat, ternyata mampu meraih keberhasilan. Perempuan Bali yang bersekolah di lembaga pendidikan seni rupa bisa dihitung dengan jari. Padahal, kekayaan Bali adalah kesenian, terutama seni tari, seni rupa, dan seni musik. Sementara di sekolah seni rupa, pun lebih banyak cerita tentang seni rupa Barat. Dan, dalam seni rupa Barat, para perempuan adalah pelaku seni rupa yang sangat tidak diperhitungkan keberadaannya.



1 komentar: